Monday 5 September 2016

Interkoneksi Ideal: Operator Untung, Konsumen Untung

 Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menegaskan revisi biaya interkoneksi yang dilakukan setiap dua tahun sekali itu akan menguntungkan operator di masa depan. Imbasnya, tarif retail ke pelanggan pun harus ikut turun.

Interkoneksi Ideal: Operator Untung, Konsumen Untung

"Revisi biaya interkoneksi memang sering menimbulkan reaksi, akan tetapi perubahan harus terjadi," kata Plt Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Noor Iza saat berbincang dengan detikINET di Jakarta, Selasa (16/8/2016).

Dalam bisnis layanan telekomunikasi itu, menurutnya, selalu terjadi yang namanya keseimbangan konsumsi atau ceteris paribus. Dan pada akhirnya, kata Noor Iza, operator tetap dapat keuntungan yang tidak menurun.

"Bahkan akan jauh lebih besar dimana komsumsi masyarakat terhadap layanan telekomunikasi akan meningkat," tegasnya.
Noor Iza saat memberi pemaparan (foto: Achmad Rouzni Noor II/detikINET)

Dalam analisa yang sempat dipaparkan oleh Ibrahim Kholilul Rohman, doktor ICT asal Indonesia jebolan Swedia, setiap penurunan 1% tarif akan berdampak kenaikan trafik 40%.

Hal itu turut diamini Noor Iza. Menurutnya, di negara-negara lain pada awalnya perubahan biaya interkoneksi menimbulkan reaksi, terutama dari pemain incumbent atau operator dominan.

"Tetapi reaksi perlawanan ini tidak terus-terusan terjadi. Karena nanti yang merasakan manfaatnya operator sendiri," katanya lebih lanjut.

Biaya interkoneksi sendiri mulai diinisiasi oleh para penyelenggara telekomunikasi yang saling berinterkoneksi pada tahun 2005 dengan maksud bersama-sama melakukan perubahan dari skema revenue sharing ke pola berbasis biaya.

Kemudian tahun 2006 dibuat kajian bersama dan membuat model perhitungannya. Model perhitungan ini yang disepakati bersama dan kemudian biaya interkoneksi dilakukan perhitungan kembali secara periodik.

Menurut Noor Iza, besaran biaya interkoneksi yang sekarang (2016) berlaku sebelum usulan baru adalah relatif sama dengan besaran biaya interkoneksi saat pertama kali dilakukan perhitungan di tahun 2006.

"Kalau ada yang bilang besaran biaya interkoneksi di Indonesia sudah relatif rendah itu iya dan itu sudah disepakati di tahun 2006. Tetapi mengapa dari tahun 2006 sampai dengan sekarang ini sebelum usulan baru besaran biaya interkoneksinya sangat tidak berubah. Itu yang perlu diteliti," tegasnya.

Menurutnya, jika dilihat hingga sekarang jaringan telekomunikasi semakin teroptimalisasi penggunaannya dan bahkan semakin meningkat kapasitasnya.

"Multiple optimasi jaringan telekomunikasi ini berarti terjadi efisiensi yang besar dalam kurun 10 tahun terakhir," lanjut Noor Iza.

Efisiensi ini harus memiliki dampak kepada masyarakat selaku pengguna layanan telekomunikasi dan juga berdampak kepada industri telekomunikasi itu sendiri.

"Industri telekomunikasi harus terbuka dalam melakukan perubahan-perubahan skema yang memang baik dan menguntungkan buat masyarakat dan industri telekomunikasi itu sendiri. Jangan alergi dengan perubahan," tegasnya.

Seperti diketahui, Kominfo sendiri telah menyelesaikan perhitungan biaya interkoneksi tahun 2016 dimana menghasilkan penurunan secara rata-rata untuk 18 skenario panggilan dari layanan seluler dan telepon tetap itu sekitar 26%.

Sebelumnya, tarif interkoneksi untuk panggilan lokal seluler sekitar Rp 250. Adanya perhitungan baru maka per 1 September 2016 menjadi Rp 204 per menit.


Sebagian kalangan menuding perhitungan biaya interkoneksi tak transparan dan adil karena tak sesuai dengan kesepakatan awal dimana regulator dianggap tak sejalan dengan dokumen konsultasi publik untuk biaya interkoneksi pada 2015 yang ingin adanya regionalisasi tarif interkoneksi.

Perhitungan tarif interkoneksi baru memilih penerapan perhitungan pola simetris atau tidak berbasis biaya penggelaran jaringan yang telah diinvestasikan oleh masing-masing operator. Alhasil, kondisi ini menjadikan operator dominan dianggap menjual di bawah biaya jaringan.

Imbas ke Tarif Retail

Polemik tentang biaya interkoneksi sendiri bisa membuat masyarakat awam mengira, dengan adanya penurunan rata-rata 26% ini, nantinya tarif telepon lintas operator secara retail akan lebih murah.

Namun sayangnya, Noor Iza belum bisa memastikan kapan operator akan menurunkan tarif retailnya agar konsumen bisa lebih menikmati biaya telekomunikasi yang lebih murah lagi.

Alhasil, banyak yang mengira, turunnya biaya interkoneksi semata-semata hanya menguntungkan dari segi operator saja, bukannya konsumen.

Ibrahim Kholilul Rohman (foto:Achmad Rouzni Noor II/detikINET)


Sementara Ibrahim, yang sehari-harinya berurusan dengan regulasi telekomunikasi di Eropa dalam beberapa tahun terakhir ini, ikut berkomentar terkait kontroversi penurunan tarif interkoneksi ini.

Menurutnya, operator yang kecipratan keuntungan dari terpangkasnya biaya interkoneksi, seharusnya juga berlaku adil kepada konsumen. "Mereka sebaiknya harus segera melakukan penurunan tarif retail."

"Yang pasti jika mau adil, konsumen harus bisa menikmati hasil dari terpangkasnya biaya interkoneksi, yakni bisa menikmati biaya komunikasi yang lebih murah. Untuk besaran penurun taruf retailnya berapa, itu tentu tergantung dari hitung-hitungan operator," imbuhnya.

Lebih lanjut, pria berkaca mata ini menerangkan, interkoneksi merupakan persoalan yang memang mau tidak mau harus diatur regulasinya oleh pemerintah.

"Kalaupun nantinya peraturan tersebut menghadirkan kontroversi, hal tersebut harus dicermati secara bijak. Smart solution, pasti menghadirkan dua sisi, yakni positif dan negatif," demikian analisa Ibrahim.

Bisa Batal demi Hukum?

Terlepas dari itu semua, sudut pandang yang berbeda disampaikan oleh Ketua Program Studi Telekomunikasi di Institut Teknologi Bandung, Ian Joeseph Matheus Edward.

Ia berpendapat bahwa kebijakan pemerintah berkaitan dengan tarif interkoneksi harus tetap mengakomodasi stakeholder industri itu, termasuk komitmen investor operator dalam konteks pembangunan jaringan (modern licensing) ketika mengajukan izin investasi.

"Dengan diterbitkannya Surat Edaran No. 1153/M.Kominfo/PI.0204.08/2016, Kominfo telah menabrak prosedur yang ada khususnya dalam PP 52 Tahun 2000 Pasal 23 yang menyatakan bahwa interkoneksi harus berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama dan adil," kata Ian.

Artinya, menurut dia, penetapan biaya interkoneksi harus transparan dan menggunakan perhitungan berbasis biaya (cost base) yang harus disepakati bersama oleh seluruh operator, tanpa terkecuali.

Selain menggunakan metode perhitungan cost base seharusnya dalam penetapan biaya interkoneksi, pemerintah harus memasukkan biaya pembangunan (capital expenditure), unsur risiko, quality of service dan biaya operasional.

"Jadi jika kita mengacu pada PP 52 Tahun 2000 yang mengatakan biaya interkoneksi harus disepakati bersama, semua operator harus setuju. Jika ada salah satu operator yang tidak setuju, maka aturan tersebut harus batal demi hukum," tegasnya.

"Bila semua itu terpenuhi, pemerintah dan masyarakat juga akan menikmati dari kondisi level of playing field yang sama, terpenuhinya pemerataan pembangunan jaringan yang ujungnya juga semua masyarakat menikmati layanan telekomunikasi yang lebih baik," pungkas Ian. (rou/ash)

No comments:

Post a Comment