Sunday 21 August 2016

Memahami Interkoneksi Menggunakan Analogi Penerbangan

Bagi orang awam, interkoneksi mungkin sulit dipahami meskipun telah digembar-gemborkan akan terjadi penurunan biaya 26% untuk 18 skema panggilan telepon tetap dan seluler.

Memahami Interkoneksi Menggunakan Analogi Penerbangan

Namun, Ketua Program Studi Telekomunikasi di Institut Teknologi Bandung (ITB), Ian Joseph Matheus Edward, punya formula pendekatan yang lebih mudah untuk penghitungan interkoneksi.

"Paling gampangnya, kita gunakan saja analogi sederhana seperti saat pelanggan hendak terbang menggunakan maskapai penerbangan," ujarnya kepada detikINET, Selasa (16/8/2016).

Tapi sebelum menggunakan analogi penerbangan komersil tersebut, ia pun terlebih dulu ingin menjelaskan alasan mengapa harus berbicara tentang masalah penurunan interkoneksi.

Seperti diketahui, biaya interkoneksi untuk panggilan lokal seluler Rp 250 per menit akan diturunkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika menjadi Rp 204 per menit per 1 September 2016.

Dalam analisa sebelumnya yang disampaikan Ibrahim Kholilul Rohman, doktor ICT asal Indonesia lulusan Swedia, disebutkan bahwa operator tak perlu takut rugi.

Karena menurutnya, penurunan interkoneksi tak melulu merugikan operator. Bahkan, kata dia, dampak dari penurunan biaya interkoneksi ini justru bisa menguntungkan operator telekomunikasi dalam jangka panjang.

Tapi menurut Ian, justru pelanggan akan dirugikan apabila pemerintah tidak menetapkan biaya interkoneksi berdasarkan investasi real yang dikeluarkan oleh masing-masing operator atau pola simetris. Karena, kondisi sekarang besaran biaya investasi yang dikeluarkan oleh masing-masing operator jauh berbeda.

Disebutkan olehnya, jumlah base transceiver station (BTS) yang dimiliki operator seluler tiga besar hingga kuartal pertama 2016 masing-masing adalah Telkomsel 110 ribu BTS, XL Axiata 59 ribu BTS, dan Indosat Ooredoo 52 ribu BTS, dengan coverage layanan yang berbeda-beda.

Sementara, biaya interkoneksi menurut Ian, hanya dipakai sebagai cost recovery atau pengembalian investasi operator tujuan dalam menyediakan jaringan untuk digunakan pelanggan operator asal dalam melayani percakapan pelanggan lintas operator.

Di dalam cost recovery tersebut, lanjutnya, ada biaya investasi dan pemeliharaan jaringan agar operator bisa selalu mempertahankan kualitas layanan ketika pelanggan melakukan percakapan/panggilan lintas operator.

"Nah, analogi sederhana dari penerapan biaya interkoneksi berbasis biaya atau pola asimetrisnya adalah sebagai berikut jika menggunakan analogi pesawat penerbangan komersil," kata Ian.

Saat pelanggan ingin pergi ke Papua tapi karena salah satu maskapai tidak mempunyai rute Jakarta-Papua secara langsung, maka pelanggan harus menggunakan dua maskapai yang berbeda (beda operator) dan harus transit (interkoneksi) terlebih dahulu di Surabaya, misalnya.

Harga tiket (tarif percakapan) Jakarta ke Surabaya, misalnya adalah Rp 300.000 menggunakan maskapai A (Operator A), harga tiket Surabaya ke Papua misalnya Rp 700.000 menggunakan maskapai B (Operator B).

Sehingga, total harga tiket yang harus dibayar pelanggan untuk tujuan Jakarta-Papua adalah Rp 1.000.000. Pada contoh ini, pelanggan membayar sesuai dengan biaya yang sebenarnya, sehingga tidak dirugikan.

Contoh berikutnya adalah penerapan biaya interkoneksi tidak berbasis biaya atau simetris.

Ketika pelanggan ingin kembali dari Papua ke Jakarta, otomatis juga menggunakan dua maskapai yang berbeda, karena tidak ada maskapai yang mempunyai penerbangan langsung.

Harga tiket Papua ke Surabaya adalah Rp 700.000, kemudian harga tiket Surabaya ke Jakarta dibanderol sama, seharga Rp 700.000. Sehingga total harga tiket untuk Papua-Jakarta menjadi Rp 1.400.000.

Berdasarkan contoh di atas, pelanggan jadi membayar lebih mahal sebesar Rp 400.000 jika kebijakan yang digunakan menggunakan perhitungan biaya interkoneksi tidak berbasis biaya.

"Inilah mengapa pola simetris yang akan diimplementasikan Kominfo saat ini salah dan dipastikan akan merugikan pelanggan. Karena, pelanggan membayar lebih dari biaya yang sebenarnya," jelas Ian.

Kesalahan lainnya, seperti ditegaskan Ian, demi efisiensi industri, Kominfo menurunkan tarif tiket Surabaya-Papua, yang tadinya Rp 700.000 menjadi, misalnya Rp 500.000.

"Sehingga, maskapai tersebut, tidak dapat membiayai operasional untuk rute penerbangannya itu karena merugi. Sehingga, pada akhirnya, pelanggan juga yang terancam dirugikan untuk kedua kalinya," paparnya.

Interkoneksi di Negara Kepulauan Lain

Tak hanya memberikan analogi hitung-hitungan interkoneksi menggunakan contoh penerbangan, Ian pun juga memberikan contoh penerapan biaya interkoneksi negara lain yang punya kondisi mirip Indonesia sebagai negara kepulauan.

Di Filipina dan Jepang, misalnya. Keduanya merupakan negara kepulauan yang luasnya lebih kecil dari Indonesia. Namun, meski tidak membutuhkan backbone yang panjang saja, biaya interkoneksi di kedua negara itu saja lebih besar dari Rp 1.000/menit.

Dibandingkan dengan Indonesia yang luasannya 2-3 kali lipat dari luas wilayah Filipina dan Jepang, biaya interkoneksinya hanya Rp 250 per menit. Itu artinya, kata dia, industri di Indonesia sudah sangat efisien.

"Jadi tidak ada alasan penerapan biaya interkoneksi dengan pola simetris yang akan segera ditetapkan pemerintah. Karena, pelanggan akan dirugikan karena membayar lebih yang harus dibayarkan dibandingkan apabila pemerintah menerapkan biaya interkoneksi dengan pola asimetris," tegas Ian.

Ia pun menegaskan, biaya interkoneksi merupakan sebagian kecil atau sekitar 15% dari variabel komponen tarif retail secara keseluruhan, yang terdiri dari beberapa variabel biaya lainnya seperti service activation fee, marketing, dan margin.

Sehingga dengan penurunan 26% dari 15% tarif ritel saat ini yang dibebankan kepada pelanggan, yang berkisar di angka Rp 1.500 hingga Rp 2.000 per panggilan lintas operator, dinilai tidak akan signifikan. (rou/fyk)

No comments:

Post a Comment